Amnesti Internasional pada Kamis lalu menuduh militer Myanmar melakukan kejahatan kemanusiaan di daerah konflik etnis, dimana konflik terjadi karena perubahan iklim politik. Kelompok hak asasi juga menuduh bahwa pemerintah telah memblokir bantuan kemanusiaan untuk puluhan ribu pengungsi yang putus asa di daerah konflik dan mengatakan tentara Myanmar juga telah menyerang warga sipil secara seksual.
"Pemerintah melakukan reformasi politik dan ekonomi, tetapi pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional di daerah etnis minoritas meningkat selama tahun ini," kata Amnesti dalam laporan tahunannya. "Beberapa adalah kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang."
Militer Myanmar telah melakukan serangan membabi buta pada waktu itu, yang ditargetkan terhadap warga sipil etnis minoritas, katanya. Di bagian utara Kachin, dimana konflik puluhan tahun lalu meletus kembali tahun lalu, ada laporan eksekusi di luar hukum, penembakan terhadap anak-anak, memaksa tenaga kerja dan menghancurkan properti, katanya.
Di negara bagian tetangga Shan, warga sipil disiksa, ditahan sewenang-wenang dan secara paksa dipindahkan, lanjut Amnesti. "Tentara dilaporkan menyerang warga sipil Kachin dan Shan secara seksual," Ada informasi kredibel mengenai tentara Myanmar menggunakan narapidana untuk kerja paksa, sebagai perisai manusia dan penyapu ranjau, katanya.
Pemerintah Myanmar telah menyetujui gencatan senjata dengan beberapa kelompok minoritas etnis bersenjata sejak berkuasa tahun lalu, dengan harapan mengakhiri perang saudara yang melanda beberapa negara bagian sejak merdeka tahun 1948. Tapi serangkaian pertemuan dengan para pemberontak di Kachin telah gagal, dimana gencatan senjata sejak 17 tahun lalu meletus kembali.
Rezim reformis baru-baru ini merombak tim perundingnya, dengan menempatkan Presiden di "kemudi" dan mengganti beberapa elemen delegasi sebelumnya yang dilihat oleh pemberontak Kachin terkait dengan kelompok militer garis keras. Keputusan Pemerintahan Presiden Thein Sen untuk melepaskan ratusan tahanan politik dan menyambut pemimpin pro demokrasi Aung San Suu Kyi dan partainya untuk kembali di percaturan politik telah mendapatkan pujian internasional.
Kini masyarakat internasional khususnya masyarakat Myanmar mengharapkan pemerintah dapat mengakhiri konflik dan pelanggaran hak asasi manusia.