Taiwan telah mempersenjatai armada tempurnya dengan "carrier killer" (Pembunuh/penghancur kapal induk) anti kapal. Hal ini dikarenakan adanya uji laut berkelanjutan yang dilakukan Angkatan Laut Cina pada kapal induk pertama mereka. Lima dari delapan kapal perang frigat Angkatan Laut Taiwan kelas Perry telah dipersenjatai dengan Ffeng Hsiung supersonik (Brave Wind) III Weapon, China Times melaporkan.
Beberapa kapal patroli yang lebih kecil juga telah dilengkapi dengan rudal, yang dirancang dapat terbang pada kecepatan 2 Mach, atau dua kali lipat kecepatan suara, dengan jarak tempuh hingga 130 kilometer (80 mil), kata surat kabar itu. China Times mengatakan Angkatan Laut Taiwan berencana untuk mengakuisisi 120 rudal seperti itu - yang dijuluki "pembunuh kapal induk" oleh pengembang mereka - dalam sebuah proyek dengan biaya perkiraan sekitar 400 juta dolar AS.
Rudal-rudal tersebut pertama kali diresmikan oleh Taiwan pada Agustus tahun lalu, di hari yang sama saat Cina mulai uji laut untuk kapal induk pertama mereka, kapal perang Angkatan Laut Sovyet era 1980-an direkondisi kembali menjadi kapal induk. Cina telah melakukan uji coba kapal induk tersebut di tujuh laut kapal sejak pertengahan 2011, kata surat kabar tersebut tanpa menjelaskan sumbernya.
Kementerian Pertahanan Taiwan telah menyatakan waspada pada ekspansi terbaru angkatan laut Cina ini, meskipun seorang pengamat militer mengatakan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) masih butuh beberapa tahun lagi hingga dapat mengoperasikan kapal induk tersebut secara optimal. Kevin Cheng, editor chief dari Majalah Taipei yang berbasis Pertahanan Asia-Pasifik, mengatakan kepada AFP: "Setidaknya butuh lima tahun bagi Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) untuk mengoperasikan armada kapal induk mereka dengan kemampuan tempur maksimal."
Tantangan terbesar bagi angkatan laut Cina adalah implementasi perangkat lunak, tambahnya. Hubungan antara China dan Taiwan sebenarnya telah mengarah ke arah yang baik sejak Ma Ying-jeou menjadi presiden Taiwan pada 2008. Ketika itu Ma Ying-Jeou berkomitmen untuk mengadopsi kebijakan non-konfrontatif terhadap Cina daratan.
Namun Cina masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang menunggu reunifikasi, jika perlu dengan kekerasan, meskipun pulau itu (Taiwan) telah memiliki pemerintahan sendiri sejak kedua pihak terpisah pada tahun 1949 karena perang sipil berkepanjangan.
Beberapa kapal patroli yang lebih kecil juga telah dilengkapi dengan rudal, yang dirancang dapat terbang pada kecepatan 2 Mach, atau dua kali lipat kecepatan suara, dengan jarak tempuh hingga 130 kilometer (80 mil), kata surat kabar itu. China Times mengatakan Angkatan Laut Taiwan berencana untuk mengakuisisi 120 rudal seperti itu - yang dijuluki "pembunuh kapal induk" oleh pengembang mereka - dalam sebuah proyek dengan biaya perkiraan sekitar 400 juta dolar AS.
Rudal-rudal tersebut pertama kali diresmikan oleh Taiwan pada Agustus tahun lalu, di hari yang sama saat Cina mulai uji laut untuk kapal induk pertama mereka, kapal perang Angkatan Laut Sovyet era 1980-an direkondisi kembali menjadi kapal induk. Cina telah melakukan uji coba kapal induk tersebut di tujuh laut kapal sejak pertengahan 2011, kata surat kabar tersebut tanpa menjelaskan sumbernya.
Kementerian Pertahanan Taiwan telah menyatakan waspada pada ekspansi terbaru angkatan laut Cina ini, meskipun seorang pengamat militer mengatakan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) masih butuh beberapa tahun lagi hingga dapat mengoperasikan kapal induk tersebut secara optimal. Kevin Cheng, editor chief dari Majalah Taipei yang berbasis Pertahanan Asia-Pasifik, mengatakan kepada AFP: "Setidaknya butuh lima tahun bagi Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) untuk mengoperasikan armada kapal induk mereka dengan kemampuan tempur maksimal."
Tantangan terbesar bagi angkatan laut Cina adalah implementasi perangkat lunak, tambahnya. Hubungan antara China dan Taiwan sebenarnya telah mengarah ke arah yang baik sejak Ma Ying-jeou menjadi presiden Taiwan pada 2008. Ketika itu Ma Ying-Jeou berkomitmen untuk mengadopsi kebijakan non-konfrontatif terhadap Cina daratan.
Namun Cina masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang menunggu reunifikasi, jika perlu dengan kekerasan, meskipun pulau itu (Taiwan) telah memiliki pemerintahan sendiri sejak kedua pihak terpisah pada tahun 1949 karena perang sipil berkepanjangan.