Penggunaan pesawat udara nirawak jadi tren global. Selain lebih murah, risikonya pun kecil. Kini saatnya Indonesia mandiri penuh merancang dan memproduksi pesawat tanpa awak.
Luasnya wilayah dan tingginya ancaman yang dihadapi membuat Indonesia harus bisa segera mandiri merancang dan memproduksi pesawat udara nirawak (PUNA). Kemandirian itu penting bukan hanya untuk menghindari potensi sabotase asing dalam komunikasi data selama pengoperasian PUNA, melainkan juga demi ketahanan negara.
Untuk itu, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menginisiasi pembuatan PUNA yang mampu terbang di ketinggian menengah dan terbang lama (medium altitude long endurance/MALE) pada 2015. PUNA bernama Elang Hitam itu dikerjakan konsorsium yang terdiri atas tujuh lembaga mulai 2017.
Ketujuh lembaga yang terlibat, selain Balitbang Kemenhan, adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan (Ditjen Pothan) Kemenhan, dan Institut Teknologi Bandung. Sementara industri yang terlibat adalah PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) dan PT. Len Industri.
”Elang Hitam dirancang sesuai kebutuhan TNI Angkatan Udara sebagai pengguna,” kata Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu Widodo Pandoe di Jakarta, Kamis (26/3/2020). Dalam konsorsium ini, BPPT bertugas merancang dan menguji pesawatnya.
Sesuai kebutuhan, pesawat didesain untuk melakukan patroli wilayah, seperti memantau perbatasan atau mengawasi lautan dari pencurian ikan. Pesawat juga dilengkapi senjata sehingga bisa melakukan tindakan awal bagi pelanggar hukum dan kedaulatan negara.
Meski pesawat tanpa awak, tantangan mewujudkan PUNA ini sangat besar. ”Pembuatan PUNA MALE ini sarat teknologi tinggi,” kata Manajer Program Pesawat Terbang Tanpa Awak PTDI Bona P Fitrikananda. PTDI dalam proyek ini berperan memproduksi dan mengintegrasikan berbagai sistem yang ada.
Tantangan membuat PUNA MALE itu salah satunya berasal dari ketinggian jelajah pesawat. Ketinggian menengah (medium altitude), berkisar 15.000-30.000 kaki atau 4,5-9,2 kilometer dari permukaan laut, juga merupakan wilayah terbang pesawat lain, termasuk pesawat penumpang. Karena itu, PUNA harus bisa mendeteksi dan menghindar apabila ada pesawat lain di dekatnya. Karena itu, pesawat harus dilengkapi dengan berbagai sensor, baik untuk mengukur kecepatan, ketinggian, maupun kemiringan pesawat.
Selain itu, suhu dan tekanan udara pada ketinggian menengah juga sudah turun. Situasi lingkungan itu harus diantisipasi agar tak memengaruhi kinerja pesawat.
Elang Hitam juga dirancang mampu terbang lama (long endurance) selama 24-30 jam. Pesawat didesain memiliki waktu terbang optimal 24 jam, sedangkan enam jam sisanya untuk mengantisipasi jika pesawat membutuhkan waktu terbang tambahan akibat adanya persoalan tertentu.
Untuk terbang selama itu, pesawat harus berukuran dan bertenaga besar. Pesawat juga harus bisa membawa banyak bahan bakar avtur. Semua itu akan berimbas pada besar dan beratnya PUNA. Dimensi besar dan berat Elang Hitam ini sudah mirip dengan pesawat berawak kecil.
Untuk mengatasi itu, lanjut Bona, pesawat dibuat menggunakan material komposit hingga 95 persen, termasuk untuk struktur utamanya, seperti rangka pesawat. Material komposit membuat bobot pesawat menjadi lebih ringan. Untuk PUNA, belum ada aturan keharusan penggunaan logam pada rangka pesawat seperti pada pesawat penumpang.
”Bahan bakar PUNA masih menggunakan avtur yang sudah teruji, bukan listrik atau tenaga surya,” ujarnya. Selain penggunaan listrik dan tenaga surya belum teruji, penggunaan baterai untuk menyimpan energi juga akan menambah berat pesawat.
Tantangan lain membuat PUNA dibandingkan pesawat berawak adalah memindahkan sistem kendali dari pilot di kokpit pesawat ke pengendali di darat yang tak melihat langsung pesawat. Dengan kondisi itu, selain banyak sensor, pesawat juga harus memiliki sistem kendali terbang (flight control system/FCS) yang mumpuni.
FCS itu akan menjadi otak pesawat. Elang Hitam harus bisa lepas landas dan mendarat secara mandiri dalam berbagai kondisi landasan pacu. Pesawat juga harus bisa mengikuti jalur terbang yang telah ditentukan dan melakukan sejumlah tindakan, termasuk saat terjadi kedaruratan.
”Sistem autopilot yang mumpuni jadi sangat penting pada PUNA,” kata Bona.
Untuk tahap awal, FCS menggunakan produk buatan luar negeri. Namun, saat ini, Lapan bersama PT Len Industri sedang merancang FCS sendiri yang akan digunakan pada produksi Elang Hitam berikutnya. PT Len Industri juga membuat sistem kendali di darat (ground control system/GCS) yang akan memandu pergerakan pesawat.
Menentukan misi dan memilih senjata yang akan dilekatkan pada pesawat juga jadi persoalan genting. Misi PUNA ini ditentukan oleh Ditjen Pothan Kemenhan, sedangkan senjatanya dipilih berdasarkan kebutuhan TNI Angkatan Udara sebagai pengguna atau yang menjalankan misi.
Untuk pengintaian, PUNA dilengkapi dengan kamera resolusi tinggi yang bisa bekerja siang dan malam serta radar bukaan sintetis (synthetic aperture radar/SAR). Sementara senjata untuk penindakan awal itu masih berupa pilihan, antara roket yang dikendalikan dan bom pintar (smart bomb).
Pesawat dirancang setidaknya mampu membawa empat roket yang masing-masing memiliki berat 30-40 kilogram. Jika dipilih roket, kata Wahyu, roket akan dilengkapi sistem pemandu laser agar bisa pas mencapai target.
”Pemilihan jenis dan peletakan senjata itu akan sangat memengaruhi performa terbang pesawat,” katanya. Penghidupan (firing) senjata pun akan memengaruhi stabilitas pesawat.
Uji terbang
Elang Hitam pertama kali diperkenalkan kepada publik (roll out) pada 30 Desember 2019 di hanggar PTDI di Bandung, Jawa Barat. Menurut rencana, pesawat ini akan terbang perdana pada akhir 2020.
Menurut Wahyu, karena pesawat ini tanpa awak, uji terbang perdana akan dilakukan di daerah yang jauh dari kepadatan penduduk guna menghindari kemungkinan gagal terbang. Meski belum ditentukan lokasinya, sejumlah daerah yang memiliki lapangan terbang sudah menjadi pilihan, seperti Cirebon dan Pangandaran di Jawa Barat atau Natuna di Kepulauan Riau.
Tahun ini juga, konsorsium akan membuat dua purwarupa Elang Hitam lainnya hingga total ada tiga pesawat yang digunakan untuk keperluan berbeda. Satu pesawat akan digunakan untuk uji pengembangan sebelum sertifikasi, satu pesawat untuk uji terbang dan sertifikasi, serta satu pesawat lain untuk uji struktur dan kekuatan di laboratorium uji milik BPPT.
Pesawat akan disertifikasi sebagai pesawat militer yang membawa senjata (unmanned combat aerial vehicle/UCAV) oleh Indonesia Military Airworthiness Authority (IMAA) yang ada di Kemenhan.
Jika nanti Elang Hitam dimodifikasi untuk keperluan sipil, misalkan untuk pemetaan atau pemantauan wilayah bencana, PUNA akan disertifikasi ulang di Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan. Proses sertifikasi pesawat militer dan sipil memang berbeda.
Pada 2022, proses sertifikasi sebagai UCAV diharapkan bisa selesai. Proses sertifikasi memang membutuhkan waktu lama, terutama karena adanya persenjataan yang dibawa. Namun, ”Pemerintah komitmen untuk menyelesaikan PUNA MALE Elang Hitam itu sebelum 2024,” ujar Wahyu.
Sertifikasi di dalam negeri itu dipilih karena Elang Hitam akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sangat besar. Luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya pangkalan udara TNI AU membuat kebutuhan PUNA MALE sangat besar. Dibandingkan penggunaan pesawat tempur, pemakaian PUNA akan menekan biaya dan meminimalkan risiko operasi. Kalaupun pemerintah mengizinkan inovasi teknologi anak bangsa itu diekspor, pasar Asia Afrika sangat menjanjikan.
Wahyu berharap proyek konsorsium PUNA MALE ini berhasil, Elang Hitam benar-benar bisa digunakan, diproduksi, dan dipasarkan. ”Sudah saatnya Indonesia masuk dalam jajaran negara-negara maju yang bisa memproduksi teknologi tinggi,” katanya. (M. Zaid Wahyudi)
Untuk itu, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menginisiasi pembuatan PUNA yang mampu terbang di ketinggian menengah dan terbang lama (medium altitude long endurance/MALE) pada 2015. PUNA bernama Elang Hitam itu dikerjakan konsorsium yang terdiri atas tujuh lembaga mulai 2017.
Ketujuh lembaga yang terlibat, selain Balitbang Kemenhan, adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan (Ditjen Pothan) Kemenhan, dan Institut Teknologi Bandung. Sementara industri yang terlibat adalah PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) dan PT. Len Industri.
”Elang Hitam dirancang sesuai kebutuhan TNI Angkatan Udara sebagai pengguna,” kata Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu Widodo Pandoe di Jakarta, Kamis (26/3/2020). Dalam konsorsium ini, BPPT bertugas merancang dan menguji pesawatnya.
Sesuai kebutuhan, pesawat didesain untuk melakukan patroli wilayah, seperti memantau perbatasan atau mengawasi lautan dari pencurian ikan. Pesawat juga dilengkapi senjata sehingga bisa melakukan tindakan awal bagi pelanggar hukum dan kedaulatan negara.
Meski pesawat tanpa awak, tantangan mewujudkan PUNA ini sangat besar. ”Pembuatan PUNA MALE ini sarat teknologi tinggi,” kata Manajer Program Pesawat Terbang Tanpa Awak PTDI Bona P Fitrikananda. PTDI dalam proyek ini berperan memproduksi dan mengintegrasikan berbagai sistem yang ada.
Tantangan membuat PUNA MALE itu salah satunya berasal dari ketinggian jelajah pesawat. Ketinggian menengah (medium altitude), berkisar 15.000-30.000 kaki atau 4,5-9,2 kilometer dari permukaan laut, juga merupakan wilayah terbang pesawat lain, termasuk pesawat penumpang. Karena itu, PUNA harus bisa mendeteksi dan menghindar apabila ada pesawat lain di dekatnya. Karena itu, pesawat harus dilengkapi dengan berbagai sensor, baik untuk mengukur kecepatan, ketinggian, maupun kemiringan pesawat.
Selain itu, suhu dan tekanan udara pada ketinggian menengah juga sudah turun. Situasi lingkungan itu harus diantisipasi agar tak memengaruhi kinerja pesawat.
Elang Hitam juga dirancang mampu terbang lama (long endurance) selama 24-30 jam. Pesawat didesain memiliki waktu terbang optimal 24 jam, sedangkan enam jam sisanya untuk mengantisipasi jika pesawat membutuhkan waktu terbang tambahan akibat adanya persoalan tertentu.
Untuk terbang selama itu, pesawat harus berukuran dan bertenaga besar. Pesawat juga harus bisa membawa banyak bahan bakar avtur. Semua itu akan berimbas pada besar dan beratnya PUNA. Dimensi besar dan berat Elang Hitam ini sudah mirip dengan pesawat berawak kecil.
Untuk mengatasi itu, lanjut Bona, pesawat dibuat menggunakan material komposit hingga 95 persen, termasuk untuk struktur utamanya, seperti rangka pesawat. Material komposit membuat bobot pesawat menjadi lebih ringan. Untuk PUNA, belum ada aturan keharusan penggunaan logam pada rangka pesawat seperti pada pesawat penumpang.
”Bahan bakar PUNA masih menggunakan avtur yang sudah teruji, bukan listrik atau tenaga surya,” ujarnya. Selain penggunaan listrik dan tenaga surya belum teruji, penggunaan baterai untuk menyimpan energi juga akan menambah berat pesawat.
Tantangan lain membuat PUNA dibandingkan pesawat berawak adalah memindahkan sistem kendali dari pilot di kokpit pesawat ke pengendali di darat yang tak melihat langsung pesawat. Dengan kondisi itu, selain banyak sensor, pesawat juga harus memiliki sistem kendali terbang (flight control system/FCS) yang mumpuni.
FCS itu akan menjadi otak pesawat. Elang Hitam harus bisa lepas landas dan mendarat secara mandiri dalam berbagai kondisi landasan pacu. Pesawat juga harus bisa mengikuti jalur terbang yang telah ditentukan dan melakukan sejumlah tindakan, termasuk saat terjadi kedaruratan.
”Sistem autopilot yang mumpuni jadi sangat penting pada PUNA,” kata Bona.
Untuk tahap awal, FCS menggunakan produk buatan luar negeri. Namun, saat ini, Lapan bersama PT Len Industri sedang merancang FCS sendiri yang akan digunakan pada produksi Elang Hitam berikutnya. PT Len Industri juga membuat sistem kendali di darat (ground control system/GCS) yang akan memandu pergerakan pesawat.
Menentukan misi dan memilih senjata yang akan dilekatkan pada pesawat juga jadi persoalan genting. Misi PUNA ini ditentukan oleh Ditjen Pothan Kemenhan, sedangkan senjatanya dipilih berdasarkan kebutuhan TNI Angkatan Udara sebagai pengguna atau yang menjalankan misi.
Untuk pengintaian, PUNA dilengkapi dengan kamera resolusi tinggi yang bisa bekerja siang dan malam serta radar bukaan sintetis (synthetic aperture radar/SAR). Sementara senjata untuk penindakan awal itu masih berupa pilihan, antara roket yang dikendalikan dan bom pintar (smart bomb).
Pesawat dirancang setidaknya mampu membawa empat roket yang masing-masing memiliki berat 30-40 kilogram. Jika dipilih roket, kata Wahyu, roket akan dilengkapi sistem pemandu laser agar bisa pas mencapai target.
”Pemilihan jenis dan peletakan senjata itu akan sangat memengaruhi performa terbang pesawat,” katanya. Penghidupan (firing) senjata pun akan memengaruhi stabilitas pesawat.
Uji terbang
Elang Hitam pertama kali diperkenalkan kepada publik (roll out) pada 30 Desember 2019 di hanggar PTDI di Bandung, Jawa Barat. Menurut rencana, pesawat ini akan terbang perdana pada akhir 2020.
Menurut Wahyu, karena pesawat ini tanpa awak, uji terbang perdana akan dilakukan di daerah yang jauh dari kepadatan penduduk guna menghindari kemungkinan gagal terbang. Meski belum ditentukan lokasinya, sejumlah daerah yang memiliki lapangan terbang sudah menjadi pilihan, seperti Cirebon dan Pangandaran di Jawa Barat atau Natuna di Kepulauan Riau.
Tahun ini juga, konsorsium akan membuat dua purwarupa Elang Hitam lainnya hingga total ada tiga pesawat yang digunakan untuk keperluan berbeda. Satu pesawat akan digunakan untuk uji pengembangan sebelum sertifikasi, satu pesawat untuk uji terbang dan sertifikasi, serta satu pesawat lain untuk uji struktur dan kekuatan di laboratorium uji milik BPPT.
Pesawat akan disertifikasi sebagai pesawat militer yang membawa senjata (unmanned combat aerial vehicle/UCAV) oleh Indonesia Military Airworthiness Authority (IMAA) yang ada di Kemenhan.
Jika nanti Elang Hitam dimodifikasi untuk keperluan sipil, misalkan untuk pemetaan atau pemantauan wilayah bencana, PUNA akan disertifikasi ulang di Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan. Proses sertifikasi pesawat militer dan sipil memang berbeda.
Pada 2022, proses sertifikasi sebagai UCAV diharapkan bisa selesai. Proses sertifikasi memang membutuhkan waktu lama, terutama karena adanya persenjataan yang dibawa. Namun, ”Pemerintah komitmen untuk menyelesaikan PUNA MALE Elang Hitam itu sebelum 2024,” ujar Wahyu.
Sertifikasi di dalam negeri itu dipilih karena Elang Hitam akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sangat besar. Luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya pangkalan udara TNI AU membuat kebutuhan PUNA MALE sangat besar. Dibandingkan penggunaan pesawat tempur, pemakaian PUNA akan menekan biaya dan meminimalkan risiko operasi. Kalaupun pemerintah mengizinkan inovasi teknologi anak bangsa itu diekspor, pasar Asia Afrika sangat menjanjikan.
Wahyu berharap proyek konsorsium PUNA MALE ini berhasil, Elang Hitam benar-benar bisa digunakan, diproduksi, dan dipasarkan. ”Sudah saatnya Indonesia masuk dalam jajaran negara-negara maju yang bisa memproduksi teknologi tinggi,” katanya. (M. Zaid Wahyudi)