Angkutan kereta api menjadi obyek vital di Pulau Jawa, terutama pada zaman kolonial Belanda dan awal-awal masa kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Salah satunya, penggunaan kereta api untuk mengangkut produk-produk militer, terutama senjata dan amunisi dari pabrik senjata dan mesiu Kiaracondong Bandung yang kini bernama PT Pindad (Persero).
Keberadaan rel kereta api menuju kawasan Pindad, diawali sejak didirikannya pabrik senjata dan mesiu di Kiaracondong tahun 1923 setelah dialihkan dari Surabaya. Pada masa itu, banyak industri yang didirikan kolonial Belanda dikoneksikan dengan jalur rel kereta api untuk angkutan massal.
Kini, lintasan rel kereta api yang menuju atau dari pabrik senjata Pindad, nyaris sulit dikenali. Apalagi, lintasan rel umumnya sudah hampir tertutup menjadi Jalan Sukapura dan padatnya pemukiman setempat.
Meski demikian, banyak pegawai senior Pindad masih mengingat dan mengetahui keberadaan lintasan rel kereta api dari Stasiun Kiaracondong ke kawasan Pindad itu. Termasuk masyarakat sekitar yang mendirikan bangunan di bekas-bekas lintasannya.
Beberapa pensiunan Pindad pun menunjukkan tempat parkir sepeda motor yang dahulunya sampai tahun 1970-an dan awal 1980-an, masih berupa ujung percabangan rel kereta api angkutan di kawasan Pindad. Bahkan tahun 1960-an sampai 1970, masih tampak beberapa lokomotif uap berada di lokasi tersebut. Namun tak diingat lagi kapan lokomotif-lokomotif tersebut terakhir masuk ke kawasan Pindad.
Seingat sejumlah pensiunan Pindad, rel kereta api yang tersambung ke Stasiun Kiaracondong, berukuran normal dengan lebar umumnya 1,067 meter. Dari Stasiun Kiaracondong pernah ada percabangan buntu di Stasiun Cikudapateuh yang kini sudah tertutup tanah. Dulu, di sanalah tempat menurunkan senjata dan amunisi untuk kawasan militer setempat.
Ada pula rel ukuran lebih kecil, sekitar 600 mm yang merupakan angkutan kereta api lori berukuran kecil. Saat ini rel tersebut masih relatif utuh di kompleks Pindad, terutama di kawasan-kawasan tertentu yang kini menjadi hutan koloni.
Rata-rata, rel itu tersambung satu sama lain dengan sejumlah tempat penyimpanan hasil produksi yang mirip bunker penyimpanan. Dahulu, rel-rel ukuran kecil inilah yang mengangkut senjata, amunisi, ranjau, dan lainnya, dari pabrik untuk kemudian dipindahkan ke angkutan kereta api besar menuju Stasiun Kiaracondong.
Dari Stasiun Kiaracondong, berbagai produk senjata, amunisi, dan ranjau dikirim dengan kereta api ke gudang senjata di Bandung, Cimahi, Batavia (Jakarta), Jawa Tengah, lalu ke Surabaya (Jawa Timur).
Foto van dhr. Jacobs, werkzaam bij artileri fabriek ACW (Artileri Comstructie Winkel dari Werkplaats) di Bandoeng Tanggal 1 Desember 1920 |
Tampak jalur rel ke ACW (Artilerie Constructie Winkel (ACW) yang menjadi bagian dari pabrik senjata dan mesiu Kiaracondong tersebut, mulai dari Stasiun Kiaracondong kemudian percabangan di Sukapura menyisir sungai menuju ke ACW lalu berujung di Cidurian.
Sedangkan dalam dokumen Ministerie van Defensie NIMH Belanda, tampak pula rangkaian pengangkutan produk-produk senjata, bom, ranjau, dan amunisi di dalam kompleks pabrik senjata dan mesiu Kiaracondong yang ditarik lokomotif kecil bertenaga diesel.
Kini di tahun 2018, sebagian bekas-bekas rel yang tersambung ke kawasan Pindad dari Stasiun Kiaracondong masih tampak, misalnya di ujung tempat parkir sepeda motor. Tampak sebuah bundaran (kabarnya bekas jembatan putar lokomotif), di sana terdapat bekas rel yang dilintangkan di atasnya.
Melihat kondisi jalan semakin macet, angkutan kereta api sebenarnya kembali menjadi andalan. Khusus jalur rel kereta api yang menghubungkan kawasan Pindad ke Stasiun Kiaracondong yang kemudian menghubungkan ke berbagai kota lainnya di Pulau Jawa, potensial kembali diaktifkan untuk mendukung distribusi produk-produk Pindad dalam mendukung industri pertahanan nasional di Pulau Jawa.
Resources
- Pindad Update, April 2018