Armée de l'Aire (Angkatan Udara Prancis) dan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) berada di persimpangan jalan: saat ini, kedua negara masing-masing telah mengoperasikan jet tempur generasi 4,5 Dassault Rafale dan Eurofighter Typhoon. Kedua pesawat berkemampuan tinggi ini rencananya akan tetap dioperasikan setidaknya untuk dua dekade lagi.
Namun, dua negara pemimpin Eropa ini belum memiliki jet tempur siluman generasi kelima yang tepat untuk menggantikannya - dan Eropa saat ini tidak sedang mengembangkan pesawat seperti ini, karena biayanya yang sangat mahal. Perlu diketahui, Jepang tampaknya sudah mundur dari mengembangkan jet tempur silumannya, meskipun mereka telah sampai pada tahap pembuatan pesawat demonstratornya.
Berlin, Paris, dan London secara historis lebih suka membeli alutsista dari industri senjata domestik daripada berbelanja ke luar negeri.
Biaya pengembangan jet tempur yang mahal telah memaksa pemimpin-pemimpin Eropa untuk bekerjasama dan patungan dana, diproduksilah pesawat-pesawat seperti pesawat latih Alpha (Prancis-Jerman) dan jet serang Jaguar (Prancis-Inggris).
Namun, Prancis juga sering bertindak sendiri sehingga memutuskan untuk mengembangkan dengan cara mereka sendiri, akhirnya lahirlah jet tempur Mirage 2000 dan Rafale. "Perilaku" Prancis ini kemudian memaksa Jerman harus berkolaborasi dengan Inggris dan Italia untuk mengembangkan jet tempur, hingga muncullah Tornado dan Typhoon.
Namun, Brexit telah mengubah kalkulasi kebijakan luar negeri Berlin. Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Angela Merkel berharap bahwa jet tempur Eropa di masa depan akan merupakan hasil dari kolaborasi antara dua kekuatan ekonomi terbesar yang ada di Uni Eropa itu.
Hubungan dengan Rusia yang kian memburuk, dan retorika skeptik Euro dan NATO dari pemerintahan Trump juga memaksa kedua kekuatan Eropa ini mendalami kerjasama militer mereka. Prancis dan Jerman telah berencana mengembangkan dan memproduksi bersama MBT Leopard 3 untuk menggantikan MBT Leclerc (Prancis) dan Leopard 2 (Jerman) pada tahun 2030-an.
Proposal untuk mengembangkan jet tempur siluman Prancis-Jerman pertama kali diungkapkan ke publik oleh Macron dan Merkel di Paris pada 13 Juli 2017. Karena BAE Systems (Inggris) tidak diajak, maka langkah ini dipahami sebagai "perceraian" dengan Inggris.
Selanjutnya, di Berlin Air Show pada tanggal 26 April 2018, Airbus (dimiliki bersama oleh Jerman, Prancis, dan Spanyol) mengumumkan bahwa mereka akan bermitra dengan Dassault Prancis untuk mengembangkan Future Combat Air System (FCAS).
Roadmap pengembangan adalah dengan memproduksi pesawat demonstrator pada tahun 2025 dan pesawat produksi dioperasikan pada tahun 2040.
Apa keunggulan FCAS?
Airbus sebenarnya sudah memiliki konsep pesawat tempur generasi kelima yang diberi judul Next Generation Weapon System. Pada 2017, Airbus merilis video promosi yang menjelaskan berbagai kemampuan yang akan dimiliki FCAS.Banyak dari teknologi yang diusulkan muncul untuk mereplikasi kemampuan F-35 AS, diantaranya: karakteristik low-observable untuk memungkinkan pesawat melakukan penetrasi ke ruang udara musuh yang dijaga sistem pertahanan udara; sensor kuat termasuk synthetic aperture radar yang mampu mengidentifikasi target musuh; dan penggabungan data-data sensor dengan pesawat sahabat.
Jet tempur baru ini akan dibekali kemampuan peperangan elektronik yang kuat, sensor, dan sistem komunikasi yang terhubung dengan satelit orbit rendah bumi.
FCAS juga akan memiliki kemampuan untuk memimpin penyebaran drone baik muatan kinetik maupun sistem peperangan elektronik - sebuah konsep yang dikenal sebagai tim berawak -tak berawak. Teknologi lainnya yang sering diperdebatkan adalah senjata laser, cyber security canggih untuk melindungi terhadap hacking dan AI-assisted piloting aids.
Ini menunjukkan bahwa video promosi Airbus adalah semua tentang paradigma perang yang sarat akan jaringan. Bukan menonjolkan kemampuan pesawat secara tunggal.
FCAS nantinya hanya sebagai salah satu elemen dalam ekosistem tempur, termasuk satelit, AWACS (airborne early warning and control), pesawat tanker pengisi bahan bakar udara dan drone tempur siluman. Airbus bahkan menyarankan bahwa FCAS tidak perlu diawaki.
Namun, seperti biasa, militer Perancis juga menginginkan syarat tambahan klasik yaitu, jangkauan yang jauh agar mampu disebarkan ke luar negeri, ke Afrika, dan beroperasi dari landasan udara yang kasar.
Pada dasarnya, Angkatan Udara Prancis terus menerbangkan pesawat tempur mereka untuk misi-misi yang jauh, sementara Angkatan Udara Jerman tidak melulu - Tornado Jerman juga bertugas di Afghanistan selama pertengahan tahun 2000-an.
Penting untuk dipahami bahwa program jet tempur siluman Prancis-Jerman ini tidak lebih sekedar proyek politik daripada realitas teknis- setidaknya hingga tahap ini.
Bagaimana dengan F-35?
Ada perusahaan pertahanan lain yang menghadiri Berlin Air Show yang bernafsu menawarkan alternatif pengembangan jet tempur siluman yang lebih cepat dan lebih mudah. Siapa lagi kalau bukan Lockheed Martin Amerika Serikat dengan F-35 Lightning II - nya, platform jet tempur generasi kelima siluman dengan sensor canggih. Kecabangan tempur udara Jerman tergoda dengan tawaran ini, tetapi tidak pemerintah Jerman.Tanpa bersusah payah untuk mengembangkan, hanya perlu menyediakan uang untuk mendapatkan F-35 siluman ini. Hanya saja keuntungan akan mengalir ke Amerika Serikat, bukan Eropa. Tapi Lightning lebih dioptimalkan untuk serangan darat daripada superioritas udara, dan telah mengalami sejumlah kegagalan kinerja, pembengkakan biaya dan, penundaan.
Namun, Luftwaffe memang harus mengganti Tornado mereka yang sudah tua, yakni mulai tahun tahun 2020-an. Armada Tornado Jerman berada dalam kondisi yang buruk karena bertahun-tahun diabaikan. Menurut laporan baru-baru ini, hanya 28 persen dari total Tornado Jerman yang bisa dioperasikan.
Berlin dapat memilih untuk membeli Typhoon tambahan - meskipun dioptimalkan untuk peran superioritas udara, Typhoon akan tetap menjadi mampu membawa rudal jelajah seperti halnya jet-jet tempur Prancis dan Inggris yang melancarkan serangan di Suriah pada April 2018 lalu.
Namun, Luftwaffe sendiri telah dilaporkan menjatuhkan pilihannya pada F-35, sehingga nantinya bisa bergabung dengan 'klub siluman' (negara sesama pengguna F-35) dan disebut mampu menembus wilayah udara yang dipertahankan oleh sistem pertahanan udara canggih.
Hal ini bahkan akan memiliki relevansi dengan skenario pertahanan Eropa, karena sistem pertahanan udara S-400 Rusia di Kaliningrad secara hipotetis wilayah pertahanannya sangat luas, di atas Polandia bahkan sampai ke Jerman bagian timur - pesawat siluman akan lebih mudah melakukan penetrasi ketimbang pesawat generasi 4,5. Juga ada manfaat dari pengumpulan sumber daya dan data dengan pengguna F-35 lain di Eropa.
Namun bagi Berlin, kesepakatan dengan Prancis lebih menarik daripada membeli dari Amerika Serikat, sementara kemampuan penetrasi yang dalam tidak dianggap penting bagi Jerman saat ini.
Kita tidak boleh melupakan dinginnya hubungan Jerman-Amerika di era Trump, yang sekarang dibumbui dengan pembicaraan tentang perang dagang. Jenderal Luftwaffe, Karl Muellner, ditegur dan kemudian dipaksa mengundurkan diri karena dukungannya yang blak-blakan untuk pembelian F-35.
Masalah lainnya adalah bagaimana Luftwaffe akan menggantikan kemampuan senjata nuklir Tornado, yang harus dipertahankan sebagai bagian dari kebijakan berbagi senjata nuklir NATO. (sebagai penjelasan, nuklirnya milik Amerika, tetapi pesawat Jerman harus memiliki kemampuan untuk membawa nuklir).
Analis Amerika Serikat dan Lockheed Martin telah menyarankan bahwa memodifikasi dan mensertifikasi Typhoon untuk dibekali kemampuan mengirimkan senjata nuklir akan terbukti sangat mahal dan memakan waktu. Eurofighter sendiri menyebutkan bahwa kemampuan ini akan diperoleh Typhoon pada tahun 2025, dan menegaskan bahwa Lockheed mungkin secara artifisial sengaja menunda sertifikasi sebagai langkah untuk mendapatkan pengaruh.
Airbus Defense CEO Dirk Hoke secara langsung menyatakan bahwa membeli F-35 akan membunuh program FCAS. Meskipun komentar Hoke jelas mementingkan diri sendiri, sulit untuk membayangkan Jerman harus membayar mahal untuk itu. F-35 tidak hanya dapat sekali datang dengan biaya yang sangat mahal, tapi berkali-kali. Logistik dan suku cadang akan membuat uang Jerman terus mengalir ke Lockheed Martin selama puluhan tahun.
Oleh karena itu, Airbus menegaskan untuk tetap mengembangkan jet tempur siluman Eropa sendiri untuk mempertahankan bisnis di Eropa - bukan hanya karena alasan ekonomi, tetapi karena jika negara-negara Eropa tidak melanjutkan investasi dalam produksi jet tempur domestik, mereka akan dengan cepat kehilangan industri-industri pertahanan mereka.
Kerjasama Prancis-Jerman ini juga akan canggung bila disandingkan dengan proyek Prancis-Inggris yang dimulai di pra-Brexit untuk mengembangkan drone tempur siluman, yang juga disebut Future Combat Air System.
FCAS yang satu ini akan menggabungkan teknologi dari drone siluman BAE Taranis dan nEUROn Perancis, yang keduanya telah diuji coba. Namun Prospek pendanaan untuk proyek itu sekarang tidak jelas, terutama pasca-Brexit
Drone FCAS dimaksudkan untuk melengkapi, bukan menggantikan pejuang generasi keempat dan kelima. Namun meskipun begitu, pengembangannya juga masih mengeruk dana dari kantong yang sama.
Pada akhirnya, program jet tempur siluman Eropa akan memakan waktu puluhan tahun dan biaya puluhan miliar euro. Jika Prancis dan Jerman menginginkan jet sudah siap pada tahun 2040, mereka harus mulai berkomitmen untuk sumber dananya dalam waktu dekat.
Bagaimanapun, negara-negara pemimpin Eropa saat ini masih dalam tahap eksplorasi untuk mendapatkan jet tempur generasi kelima. Masih belum jelas, keinginan politik atau keinginan militer mereka yang harus mereka prioritaskan. (NI)