Dalam serangan rudal di Suriah beberapa waktu lalu oleh militer AS dan koalisinya, rudal-rudal berhasil menghantam sasaran, dan korban jiwa yang ditimbulkan nyaris tidak ada. Menurut laporan CNN, hanya tiga warga sipil Suriah yang terluka akibat serangan rudal tersebut.
Serangan yang melibatkan lebih dari 100 rudal itu menunjukan bahwa rudal-rudal jelajah berpemandu satelit berhasil mengenai sasaran dengan tepat dan tidak menyasar ke permukiman warga sipil meski rudal ditembakkan dari jarak ratusan kilometer.
Kecanggihan rudal-rudal di peperangan modern jelas spektakuler, mengingat sesungguhnya rudal hanyalah benda mati yang ternyata bisa menentukan sasarannya sendiri secara presisi, layaknya memiliki otak sendiri.
Pada awalnya, rudal adalah bom yang dipasangi sirip dan bisa terbang menuju sasaran karena dikendalikan oleh remote-control sederhana oleh manusia. Belakangan, karena celah menuju sasaran semakin dipersempit, sistem kendali dan sistem penjejak sasaran berkembang semakin impresif.
Rudal udara ke udara, udara ke permukaan, dan permukaan ke udara adalah berbagai jenis rudal yang pernah menggiring dunia ke dalam masa-masa yang amat genting. Jauh berbeda saat pertama kali rudal diperkenalkan dalam Perang Eropa pada PD II, kini, teknologi rudal sudah jauh lebih maju.
Jika rudal pertama, yakni Fritz-buatan Jerman yang amat merepotkan armada Sekutu pada masa itu, hanya mengandalkan prinsip radio-kontrol, kini untuk sistem penjejaknya saja telah diterapkan teknik penyocokan kontur digital dan stellarinertial.
Kedua teknik itu memungkinkan hulu ledak dibawa terbang menjelajah ribuan kilometer atau melintas benua lalu tepat mengenai sasaran dengan tingkat kesalahan hanya satu meter dalam rentang 10.000 km.
Sejak Fritz yang masih amat sederhana itu berhasil menjebol kapal-kapal perang Sekutu, sejumlah negara yang terlibat perang – terutama AS – pun langsung memahami betapa tingginya manfaat rudal dalam mempersingkat dogfight yang berkepanjangan.
Rudal Fritz atau Ruhrstahl X-1, rudal anti kapal mematikan yang digunakan Jerman dalam Perang Dunia II |
Kepintaran para insinyur Jerman dalam upaya pengembangan senjata pun membuka wawasan para insinyur Barat. Kehebatan Fritz yang tak terbantahkan memicu mereka untuk bisa membuat rudal-rudal yang jauh lebih canggih. Mereka giat melakukan percobaan dan selalu mencari pemecahan setiap kali menemukan kelemahan dari sebuah rudal yang baru saja diciptakan.
Di lain pihak lawan berhasil menciptakan penangkalnya. Pamor Fritz sendiri langsung tenggelam tak lama setelah Jerman kalah terhadap Sekutu pada Mei 1945. Namun, setelah itu, meski tak ada perang yang bisa digunakan sebagai laboratorium alam, AS, Uni Soviet, Inggris, dan Perancis berhasil membuat rudal-rudal yang semakin canggih dan semakin mematikan.
Memasuki masa Perang Dingin pada dasawarsa 1970-an, perkembangan yang ada bahkan telah menggiring dunia ke dalam masa-masa yang genting dan mencekam. Pada masa itu telah bermunculan rudal-rudal balistik pemicu kiamat berhulu ledak nuklir macam Minuteman, Titan, Poseidon, dan Trident.
Hulu ledak rudal-rudal buatan AS ini ada yang mencapai sembilan megaton. Soviet pun tak kira-kira dalam membuat penandingnya. Mereka menciptakan SS-13, SS-4, SS-N-5, SS-N-6, dan masih banyak lagi, dengan kekuatan hulu ledak rata-rata 1 megaton.
Sebagai akibat dari perlombaan itu, seperti diungkap Mark Dartford dalam buku Military Technology (1985), pada tahun itu dunia sempat mengalami kejenuhan yang luar biasa.
Pada tahun 1985 itu pula, paling tidak di dunia ada lebih dari 40.000 hulu ledak nuklir dengan kekuatan ledak berkisar antara seperduapuluh sampai ribuan kali dari ledakan atom yang terjadi di Hiroshima.
Rudal-rudal itu tentu amat menggetarkan. Namun, negara-negara pembuatnya seolah menikmati benar predikat yang kemudian disandang. Sebagai pembuat, mereka selanjutnya dikenal sebagai negara digdaya yang bisa mengatur dunia.
Rudal-rudal yang amat mematikan itu sendiri kemudian sering dikedepankan setiap kali mereka terlibat dalam konflik kepentingan skala global.
Rudal Balistik Uni Sovyet SS-4 di Red Square, Moskow |
Dalam kaitan ini secara umum rudal-rudal tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kategori: Pertama, adalah rudal bersistem penjejak pasif. Kedua, rudal bersistem penjejak aktif. Dan, ketiga, rudal-rudal preset atau dengan sasaran yang telah di-set tetap beberapa saat sebelum diluncurkan.
Rudal pasif, maksudnya adalah rudal yang menuju sasaran dengan penjejak yang telah dirancang mengikuti sinyal atau jejak yang ditinggalkan atau dipancarkan sasaran tersebut. Perancangnya biasa menyebut manuvernya sebagai “home in” atau “pulang ke rumah”. Masuk ke dalam kategori ini adalah rudal-rudal dengan sistem penjejak panas, seperti AIM-9 Sidewinder.
Kebalikannya adalah rudal aktif. Rudal jenis ini harus mengaktifkan radar atau kamera atau dikendalikan dari jauh agar bisa mencapai sasarannya. Di antara sistem aktif pasif, sekelompok perancang toh bisa menggabungkannya menjadi rudal dengan sistem semi-aktif.
Lalu bagaimana dengan rudal preset? Sistem ini biasa digunakan untuk rudal-rudal balistik yang diluncurkan dari suatu tempat ke sasaran di lokasi tetap. Rudal jenis ini biasa digunakan rudal-rudal strategis untuk menghancurkan pangkalan militer atau kota seperti tiga sasaran strategis Suriah yang berhasil dihantam militer AS dan koalisinya beberapa waktu lalu.
Dari sekian banyak teknologi penjejak sasaran yang digunakan pada masa kini; sistem inertial guidance, stellar inertial guidance, dan Tercom (Terrain Contour Matching) adalah yang paling diandalkan rudal-rudal modern.
Pencapaian teknologi ini tak lain adalah untuk meminimalisasi rintangan alam maupun rintangan buatan hasil rekayasa teknologi penangkal rudal.
Teknik penyocokan kontur digital atau yang biasa disebut sebagai Terrain Contour Matching, misalnya, dibuat agar sang rudal bisa mengecoh radar pertahanan udara.
Dengan Tercom, rudal akan terbang rendah dan mencapai sasaran dengan cara mengikuti koordinat tiga dimensi dari peta kontur yang direkam di kepalanya.
Teknologi semacam ini diadopsi rudal jelajah BGM-109 Tomahawk yang namanya makin populer setelah digunakan oleh militer AS untuk menghantam sejumlah sasaran strategis di Suriah pada pertengahan April 2018.
Article Resources
- Intisari Online