Senin, April 09, 2018

72 Tahun TNI AU : Perkembangan Alutsista dari Masa ke Masa

Sukhoi TNI AU

Hari ini 72 tahun silam, tepatnya 9 April 1946, Republik Indonesia resmi memiliki tentara angkatan udara.

Presiden Soekarno menerbitkan surat Penetapan Pemerintah Nomor 6/SD/1946 tentang Pembentukan Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara.

"(Surat) juga menetapkan Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Udara yang pertama. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai Hari Angkatan Udara," ujar Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Jemi Trisonajaya, melalui keterangannya kepada Kompas.com.

Meski demikian, cikal bakal bala tentara udara Indonesia ini sebenarnya dimulai sejak 22 Agustus 1945.

Sehari setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengangkat Soekarno menjadi Presiden pertama Republik Indonesia dan Mohammad Hatta menjadi Wakil Presiden.

Sidang berikutnya 22 Agustus 1945, PPKI menghasilkan tiga keputusan, salah satunya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas menjaga terjaminnya keamanan dan ketertiban umum.

BKR sendiri terdiri dari sejumlah resimen tempur yang selama ini melawan penjajahan Jepang melalui masing-masing bidangnya. Oleh sebab itu, BKR kemudian membentuk beberapa organisasi berdasarkan bidang perjuangannya, yakni BKR Oedara, BKR Laoet, BKR Kereta Api, BKR Pos dan sebagainya.

BKR Oedara kemudian merebut dan menguasai sejumlah pangkalan udara Jepang dan unsur penerbangan lainnya. Mereka menjadikan tempat-tempat rampasan itu sebagai basis kekuatan udara Indonesia.

Sebut saja beberapa pangkalan udara lawan yang berhasil direbut, Pandanwangi (Lumajang), Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Morokrembangan (Surabaya), Panasan (Solo), Kalibanteng (Semarang), Maguwo (Yogyakarta), Andir (Bandung), Cibeureum (Tasikmalaya), Jatiwangi (Cirebon), Cililitan (RED: Halim Perdanakusuma, Jakarta), dan beberapa tempat di luar Pulau Jawa.

Pertama kali Merah-Putih mengudara

Setelah berhasil dikuasai, para perintis angkatan udara memperbaiki pangkalan udara beserta sejumlah pesawat dan unsur penerbangan lainnya agar bisa digunakan.

Tanggal 26 Oktober 1945, teknisi Basir Surya berhasil memperbaiki salah satu pesawat latih peninggalan Jepang buatan tahun 1933, Cureng atau Yokosuka K5Y, di Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta.

Sehari setelahnya, penerbang Komodor Udara A. Adisucipto menerbangkan pesawat itu mengelilingi lapangan terbang Maguwo selama 30 menit.

"Ini merupakan pertama kalinya pesawat Cureng dengan identitas merah-putih di badan pesawat terbang di langit Indonesia pascakemerdekaan," ujar Jemi.

Bahkan sehari kemudian, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945, Adisucipto menerbangkan kembali pesawat itu. Kali ini, pesawat mengudara di atas alun-alun Kota Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta menyaksikan peristiwa itu dengan antusias.

"Keberhasilan inilah yang menggerakkan semangat juang para pemuda untuk berusaha mengembangkan kekuatan udara nasional pada hari-hari setelahnya," ujar Jemi.
Pesawat Cureng
Pesawat Cureng di Museum TNI AU (Foto: Sindonews)
Tanggal 29 Juli 1947 misalnya. Setelah agresi militer Belanda I, angkatan udara Indonesia memberikan serangan balasan dengan memborbardir tiga kota yang diduduki Belanda, yakni Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.

Serangan ini merupakan momentum heroik bagi angkatan udara Indonesia. Setelah serangan ini, tiga perintis angkatan udara Indonesia meninggal dunia, yakni Agustinus Adisucipto, Abdulrachman Saleh dan Adisoemarmo Wiryokusumo.

Selanjutnya tanggal 17 Oktober 1947, angkatan udara Indonesia memblokade Belanda melalui udara di Kalimantan melalui Operasi Lintas Udara. Operasi itu hanya dilakukan oleh 13 orang pasukan payung.

Angkatan udara Indonesia juga merebut sejumlah stasiun perhubungan udara di sejumlah kota di Indonesia. Setelah berhasil dikuasai, mereka menggunakan stasiun perhubungan udara itu sebagai alat komunikasi dengan satuan di daerah lain sekaligus memberitakan kemerdekaan Republik Indonesia ke penjuru dunia.

Tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah RI mengeluarkan maklumat pembentukan tentara kebangsaan yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pimpinan tertinggi Supriyadi dan Kepala Staf Umum Mayor Oerip Soemohardjo, yang berkedudukan di Yogyakarta. BKR Oedara pun berubah menjadi TKR Jawatan Penerbangan.

Dalam perkembangannya, TKR Jawatan Penerbangan berubah nama menjadi Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara.

Alutsista dari masa ke masa

Sepanjang era 1950 hingga 1970, angkatan udara berhasil mengembangkan diri dan mengkonsolidasikan diri menjadi angkatan penunjang kedaulatan negara.

Era 1950 adalah gelombang pertama kehadiran pesawat yang lebih modern ketimbang sebelumnya. Misalnya pesawat tempur P-51 Mustang, pesawat pembom B-25 Mitchel dan B-26 Invander, dan pesawat angkut C-47 Dakota dan lain-lain.
B-26 Invader TNI AU
Pesawat pembom B-26 Invader TNI AU (Foto: Ebay)
Dalam periode ini, angkatan udara juga melaksanakan sejumlah operasi penumpasan pemberontak. Antara lain penumpasan pemberontakan PKI Madiun, PRRI/Permesta, Republik Maluku Selatan dan DI/TII.

Kegemilangan prestasi angkatan udara Indonesia membawanya menjadi salah satu bala tentara udara yang disegani di kawasan Asia Tenggara pada era 1960-an.

"Pada era ini, angkatan udara mengadakan alutsista dari Blok Barat (C-130 Hercules, C-140 Jetstar dan Helikopter Bell-47-J) dan dari Blok Timur (Mig-19, AN-12 Antonov, Helikopter MI-4 dan MI-6)," papar Jemi.
Antonov AN-12 TNI AU
T-1205 dengan nick name "Ardjuna" (Foto: auriplanes.blogspot.co.id)
Dengan kekuatan udara itu, TNI AU berhasil melaksanakan sejumlah operasi, antara lain merebut Irian Barat (Operasi Trikora), Operasi Dwikora (konfrontasi Indonesia-Malaysia) dan penumpasan Gerakan 30 September PKI.

Pada pertengahan 70-an, kekutatan angkatan udara bertambah lagi dengan kedatangan F-86 Sabre, T-33 Bird, Fokker F-27, helikopter Puma SA-330, helikopter latih Bell 47G Sioux dan AT-16 Harvard.

Pada dekade 80-an, hadir pesawat tempur F-5 Tiger II, pesawat A-4 Sky Hawk dan pesawat latih Hawk MK-53 yang memiliki kemampuan pengintaian dan pengamatan wilayah permukaan. Tahun 1989 didatangkan pula pesawat Multirole F-16 Fighting Falcon dan Radar Thomson dan Plessey.

Sementara, memasuki perideo 1990-an, angkatan udara menambah kekuatan dengan datangnya pesawat CN-235, NAS 332 Super Puma dan Radar Plessey AR-325. Alutsista itu ditempatkan di Skadron Udara 12 dan 1.
Heli Super Puma TNI AU
Heli Super Puma TNI AU (Foto: Tribunnews)
"Pada milenium ketiga, angkatan udara dilengkapi alutsista dari Timur, yakni hadirnya Sukhoi SU-27 dan SU-21, pesawat latih dasar KT-1 Woong Bee, helikopter EC-120 Colibri, CN 235-220 MPA dan CN-295 buatan PT Dirgantara Indonesia. Pada periode ini juga dibentuk Skadron Udara 51 Elang Pengintai dengan armada pesawat UAV di Lanud Supadio," ujar Jemi.

TNI AU, Kini...

Sejarah membentuk angkatan udara Indonesia menjadi angkatan yang semakin kuat, modern dan profesional.

Tidak hanya perang, TNI AU kini juga dilibatkan dalam operasi militer, misalnya tugas kemanusiaan di dalam dan luar negeri, bencana alam misalnya gempa bumi, tsunami, banjir bandang dan letusan gunung berapi. TNI AU juga dilibatkan dalam rekayasa cuaca.

"Operasi selain perang ini contohnya mencari jejak jatuhnya Sukhoi Superjet-100 di Gunung Salak, pencarian pesawat Malaysia Airlines MH370 dan pengiriman paket bantuan kemanusiaan pemerintah Indonesia bagi warga Rohingya di Rakhine State, Myanmar," uja Jemi.

Di usia ke-72 ini, TNI AU terus mengepakkan sayapnya, membangun kekuatan alutsista, mengembangkan kemampuan dan organisasi untuk meningkatkan deterrent power.

"Dengan dilandasi jiwa ksatria, militan, loyal dan profesional, TNI AU bersama rakyat siap menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI," lanjut Jemi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Angkatan Udara Republik Indonesia, 72 Tahun Silam Hingga Kini...", https://nasional.kompas.com/read/2018/04/09/06142221/angkatan-udara-republik-indonesia-72-tahun-silam-hingga-kini.
Penulis : Fabian Januarius Kuwado
Editor : Diamanty Meiliana