Perdagangan senjata antara Rusia dan China meledak pasca runtuhnya Uni Soviet, namun telah menurun dalam beberapa tahun belakangan. Hal ini akibat menurunnya permintaan, karena China sudah mampu membangunnya sendiri. Alasan lainnya terkait risiko pencurian hak kekayaan intelektual oleh China (seperti di masa lalu) yang membuat Rusia kini enggan mengekspor senjata canggih ke China.
Saat ini ada lima senjata Rusia yang diinginkan dan belum dimiliki China. Seandainya Rusia menjual lima senjata ini, kekuatan tempur Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) akan lebih mematikan, hal ini diungkapkan oleh Robert Farley, asisten profesor dari Universitas Kentucky dalam sebuah artikelnya di laman National Interest.
Yang pertama, mesin jet. Mesin jet Rusia dapat menjadi solusi bagi krisis China soal keandalan mesin pesawat tempur, ujar Farley. Kurang andalnya mesin tidak hanya terjadi pada pesawat-pesawat tempur generasi keempat China, seperti J-10, J-11 dan J-15, tapi juga termasuk prototipe pesawat tempur generasi kelima siluman China seperti J-20 dan J-31.
"Mesin Rusia tidak memiliki reputasi dalam hal keandalan yang luar biasa, tetapi performa mesin mereka lebih baik daripada rekan China mereka," kata Farley.
Saat ini ada lima senjata Rusia yang diinginkan dan belum dimiliki China. Seandainya Rusia menjual lima senjata ini, kekuatan tempur Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) akan lebih mematikan, hal ini diungkapkan oleh Robert Farley, asisten profesor dari Universitas Kentucky dalam sebuah artikelnya di laman National Interest.
Yang pertama, mesin jet. Mesin jet Rusia dapat menjadi solusi bagi krisis China soal keandalan mesin pesawat tempur, ujar Farley. Kurang andalnya mesin tidak hanya terjadi pada pesawat-pesawat tempur generasi keempat China, seperti J-10, J-11 dan J-15, tapi juga termasuk prototipe pesawat tempur generasi kelima siluman China seperti J-20 dan J-31.
"Mesin Rusia tidak memiliki reputasi dalam hal keandalan yang luar biasa, tetapi performa mesin mereka lebih baik daripada rekan China mereka," kata Farley.
Tampaknya berat bagi Rusia untuk mengeskpor langsung mesin jet canggih ke China, namun seandainya terjadi penjualan Sukhoi Su-35, China akan meneliti dan menirunya, untuk selanjutnya membuat pesawat dan mesinnya sendiri. Saat ini Rusia masih mempertimbangkan penjualan Su-35 ke China, karena hal ini sangat berisiko karena bila China berhasil menirunya (baik Su-35 dan mesinnya), maka Rusia bisa kehilangan pasar.
Yang kedua, pesawat pembom. Pembelian pesawat pembom strategis Rusia seperti Tu-160 Blackjack (gambar atas) atau Tu-22M Backfire akan menggantikan pesawat pembom H-6 Angkatan Udara PLA yang merupakan turunan dari pesawat pembom Uni Soviet Tu-16 "Badger" yang sudah berumur. Meskipun Tu-160 dan Tu-22M merupakan pesawat pembom hasil desain dari era Perang Dingin, namun masih lebih canggih dari pembom yang dimiliki China saat ini.
"(Belum dapat dipastikan) Apakah Rusia akan memutuskan untuk mengekspor Tu-22M langsung ke China beserta lisensi produksinya, atau Rusia hanya akan memberikan bantuan teknis kepada china untuk pengembangan atau pesawat pembom baru, kolaborasi ini akan menghasilkan pembom yang lebih mematikan untuk Angkatan Udara PLA," tulis Farley.
Seperti yang Artileri kabarkan Januari lalu, China saat ini tengah mengembangkan pesawat pembom baru, yang mana diyakini satu prototipe sedang dikerjakan.
Yang ketiga, kapal selam nuklir. Untuk Angkatan Laut PLA, kapal selam nuklir Rusia seperti Kelas Akula dan Yury Dolgorukiy akan menambah kekuatan tempur Angkatan Laut PLA secara signifikan, sekaligus mendongkrak teknologi pembangunan kapal selam nuklir China yang selama ini masih mengalami masalah. Secara substansial, kapal-kapal selam nuklir buatan China masih berada di belakang standar kapal selam nuklir Rusia.
Namun yang pasti, selama ini Rusia sangat menjaga kerahasiaan teknologi kapal selamnya, dan teknologi produksi kapal selam (termasuk kapal selam konvensional) merupakan proses industri yang sangat berharga dan sulit ditransfer ke negara lain. Namun melihat Rusia yang saat ini sedang menyewakan kapal selam nuklirnya (Kelas Akula) ke India, maka tampaknya ada peluang bagi China. Namun untuk kapal selam nuklir terbaru Rusia (Yury Dolgorukiy), sepertinya tidak akan diekspor Rusia ke China. Kemungkinan terbesarnya adalah Rusia memberikan bantuan teknis kepada China untuk mengembangkan kapal selam nuklir seperti Yury Dolgorukiy.
Yang keempat, S-400. Untuk meningkatkan kemampuan anti-access and area denial dalam strategi China menghadapi senjata udara musuh, maka yang dibutuhkan China adalah sistem rudal pertahanan udara S-400 Rusia.
"Jika pesawat dan rudal jelajah AS bisa menyerang pangkalan udara, node komunikasi, peluncur rudal, dan pusat-pusat logistik militer China, maka seluruh sistem tempur China akan berantakan sebelum menjalankan misinya," ujar Farley. Seandainya diekspor, sistem rudal pertahanan udara S-400 Rusia akan menggantikan atau beroperasi bersama sistem rudal pertahanan udara HQ-9 China.
Yang terakhir, rudal balistik. Farley berbicara tentang ekspor rudal balistik Iskander-E Rusia ke China.
"China masih harus banyak belajar dari Rusia, baik untuk rudal jarak jauh maupun rudal jarak dekat. Rudal Iskander-E konon memiliki karakterisitik manuver terminal mengesankan yang melebihi rudal apapun milik China, dan akan memberikan PLA keunggulan besar dalam berbagai potensi konflik. Namun, Rusia masih keberatan untuk menjual rudal balistik ke China karena masalah keamanan dan pencurian hak kekayaan intelektual," kata Farley.
Gambar Tu-160: Oleg V. Belyakov - AirTeamImages
"China masih harus banyak belajar dari Rusia, baik untuk rudal jarak jauh maupun rudal jarak dekat. Rudal Iskander-E konon memiliki karakterisitik manuver terminal mengesankan yang melebihi rudal apapun milik China, dan akan memberikan PLA keunggulan besar dalam berbagai potensi konflik. Namun, Rusia masih keberatan untuk menjual rudal balistik ke China karena masalah keamanan dan pencurian hak kekayaan intelektual," kata Farley.
Gambar Tu-160: Oleg V. Belyakov - AirTeamImages