Rabu, Juli 17, 2013

Pembelian Alutsista Bekas Selalu Munculkan Perdebatan

Di tengah semangat pemerintah RI untuk memodernisasi alutsista TNI, rencana mendatangkan senjata bekas pakai dari luar negeri kembali menimbulkan perdebatan. Dalam draft rancangan Kementerian Pertahanan hingga tahun 2014, TNI AU akan kedatangan 6 jet tempur F-16 baru asal AS. Namun, saat negosiasi berjalan, rencana  pun berubah.

F-16F Block 60
F-16F Block 60 (Foto via voodoo-world.cz)

"(Anggaran) yang tadinya kita pakai untuk membeli enam pesawat F16, sekarang kita pakai meng-upgrade yang 24, ini belum tapi sekarang kita di-offer 10 lagi ," ujar Menhan Purnomo Yusgiantoro.

Menurut Menhan, kebijakan mendatangkan pesawat bekas pakai tak berisiko sebesar yang diklaim pengkritik kebijakan ini.

"Kalau pesawat itu dia tidak brand new pun kalau dia sudah di-upgrade engine-nya ya bagus, avionic dan airframe bagus, itu sudah cukup," tegas Menhan.

Bagaimanapun para pengkritik beralasan rekondisi belum tentu menjadikan kemampuan pesawat seperti kualitas baru. Selain itu usia pesawat bekas pakai yang sudah uzur justru akan merugikan TNI karena biaya pemeliharaan yang lebih besar.

"Pemeliharaan dan rekondisinya kan besar juga biayanya. Bukan canggih dipakai, nanti malah membebani," kata TB Hasanuddin, anggota Komisi Pertahanan DPR dari PDI Perjuangan.

Hasanuddin mencontohkan dalam kasus rencana pembelian pesawat F-16 itu, anggaran justru melampaui pagu karena tiba-tiba banting setir pada pesawat bekas. "Anggarannya untuk 6 pesawat kan US$ 600 juta, sekarang rekondisi untuk 24 pesawat malah jadi $700 juta," kritik Hasanuddin.

Biaya upgrade F-16 hanya US$ 460 juta

Berbeda dengan Hasanudin, juru bicara Kemhan Hastind Asrin menyatakan bahwa biaya peremajaan 24 pesawat tempur F-16 yang dihibahkan pemerintah Amerika Serikat hanya mencapai US$ 460 juta.

"Perkiraannya sekitar $460 juta. Kita kalau beli pesawat tentu membandingkan harga. Dengan uang itu kita hanya dapat enam F-16 baru, kalau upgrade kita dapat 24, hampir dua skuadron," kata Hastind kepada BBC Indonesia.

Proses peremajaan diperkirakan memakan waktu tiga tahun dan sejumlah pesawat pertama diharapkan sudah tiba di Indonesia tahun 2014, kata Hastind. Hastind juga menambahkan F-16 yang akan dimodernisasi di perusahaan penerbangan Lockheed Martin itu memiliki ketahanan sekitar 20 tahun dengan 4.000 jam terbang. Ia mengatakan rata-rata penerbang menghabiskan sekitar 150 jam terbang per tahun.

Kesepakatan transfer pesawat tempur ini diumumkan oleh Presiden Barack Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bali hari Jumat lalu.

Pilihan hibah

TNI sendiri juga seringkali dikabarkan menolak keputusan membeli alutsista bekas pakai negara lain.

"Mabes TNI dan Dephan sekarang saya kira sudah profesional, kalau tidak cocok ya ditolak," kata Djoko Susilo, mantan anggota Komisi Pertahanan DPR yang kini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Swiss.

Saat menjadi anggora DPR antara 2004-2009, Djoko mengatakan praktik beli alutsista bekas pakai juga terjadi beberapa kali dengan alasan mengirit anggaran. Tahun 2008 menurut Djoko ada tawaran menggiurkan dari Jerman Timur : pesawat heli BO-108 hanya dijual seharga US$ 70 ribu.

"Usut punya usut ternyata umurnya sudah 25 tahunan dengan ongkos rekondisinya sampai US$2 juta," kata Djoko sambil tertawa.

Tahun ini ada juga tawaran satu skadron pesawat tempur murah bekas pakai asal Korea Selatan, jenis F-5, juga ditolak TNI AU. Meski TNI AU juga memiliki F5 sejenis, Kepala Staf TNI AU, Marsekal Putu Dunia, mengatakan variannya tak sama dengan versi Korea.

"Sebagusnya kita tidak terima, tapi terserah. Karena berbeda dengan pesawat (F-5) yang kita miliki, kita sudah modifikasi banyak. Dia masih yang lama," tegas Putu.

F-5 Korea Selatan
F-5 Korea Selatan (Foto via Xairforces.net)

Putu mengatakan penolakan bukan karena skema pembeliannya, hibah atau bukan, tetapi perbedaan tipe pesawat dianggap akan memboroskan anggaran (biaya pemeliharaan). Meski demikian, dengan alasan keterbatasan anggaran, skema hibah tampaknya masih akan menjadi opsi bagi TNI. Tujuannya untuk mengejar kuantitas alutsista guna memastikan Indonesia benar-benar memenuhi kuota Kekuatan Pokok Minimum pada 2024.

Pesawat uzur

Pemerintah misalnya telah menerima tawaran empat pesawat Hercules dari Australia dengan skema hibah ditambah enam lagi dengan tawaran harga murah.

"Tadinya kita cukup punya CN-295, yang bekerjasama dengan Airbus Military Industry (dan PTDI). Kita mau beli 9-10 (pesawat). Tadinya," kata Menhan Purnomo Yusgiantoro.

Tawaran alternatif dari Australia segera disambar Kemhan karena kekuatan Hercules TNI AU yang sudah sangat minim dan uzur. Beberapa kali kecelakaan pesawat milik TNI disebut-sebut akibat peralatan yang sudah terlalu tua.

Menurut mantan KASAU Marsekal Imam Syufaat, negara sebesar Indonesia sangat membutuhkan airlifter serbaguna seperti Hercules. Tetapi dengan anggaran yang hanya Rp 8 triliun untuk TNI AU tahun ini, pilihan pesawat bekas pakai nampaknya dianggap cukup masuk akal.

"Seperti Hercules kita hanya punya 13 pesawat. Kalau kita ada uang jadi ada tambahan 10 Hercules nanti dari Australia," kata Imam kepada media, sesaat setelah TNI merayakan hari jadi pada Oktober lalu.

Seperti juga dalam kasus F16, Hercules eks Australia ini memerlukan rekondisi sebelum bisa dikirim ke Jakarta.

Peluang makelar

Yang juga kerap menjadi persoalan dalam pembelian alutsista bekas pakai menurut Djoko Susilo adalah lebih terbukanya peluang bagi makelar senjata.

"Transaksi senjata baru yang dalam kontrak disebut brand new saja dulu kita sering diakali, apalagi bekas. Lebih sulit mengeceknya, kelaikan dan kualitasnya," kata mantan pengurus PAN ini.

Senjata-senjata ini ditawarkan agen, atau lebih sering disebut makelar senjata swasta, yang menurut Djoko bukan berasal dari internal TNI maupun Kementrian, tetapi yang memiliki hubungan dekat dengan dua lembaga itu.

"Misalnya mungkin saudaranya Menteri atau Dirjen atau kalangan politik gitu lah." Praktek para makelar ini menurut Djoko beberapa kali terjadi sampai dengan tahun 2008.

DPR juga sempat dituding jadi sarang calo alutsista di tengah pembahasan anggaran pertahanan tahun 2007, karena masuknya beberapa item senjata yang sebelumnya tak direncanakan. Komisi I DPR waktu itu menuding Menhan Juwono Sudarsono menebar fitnah tanpa bukti.

Adalah Juwono juga yang kemudian menetapkan pakta integritas dan menyusun Buku Putih Pertahanan 2008, sebagai acuan pengadaan alutsista hingga 2024 agar tidak muncul pembelian senjata di luar rencana.

"Saya kira Dephan sudah jauh lebih baik setelah itu," kata Djoko yang sempat menyebut Juwono 'kurang ajar' akibat kontroversi itu. Tetapi boleh jadi sepak terjang makelar senjata belum benar-benar berakhir.

Saat membuka Sidang Kabinet Terbatas bidang Politik, Hukum dan Keamanan Februari lalu, Presiden Yudhoyono tiba-tiba menyebut soal kebiasaan penggelembungan anggaran dan "kongkalikong" dalam pengadaan alutsista.

Tiga bulan kemudian, saat menerima KASAD baru pengganti Jendral Pramono Edhie Wibowo, Presiden berpesan agar Jendral Moeldoko membereskan urusan kongkalikong itu.

"Langkah-langkah dalam penertiban pengadaan alutsista dan keuangannya harus dilaksanakan secara transparan, terbuka, sehinggga tidak ada kesan penggunaan anggara yang kurang tepat," kata Pramono menirukan pesan SBY.

Dewi Safitri