Selasa, November 06, 2018

100 Tahun Lalu, Jerman Mengakui Kekalahan dalam Perang Dunia I

Jerman Mengakui Kekalahan dalam Perang Dunia I

Pagi hari tanggal 11 November 1918, sebuah mobil yang membawa ketua tim negosiator Jerman, Mathias Erzberger, menyeberang perbatasan Belgia-Prancis. Tujuannya sebuah hutan kecil di Compiegne, sekitar 90 kilometer dari Paris. Di sana dia bertemu dengan ketua tim negosiator Perancis, Marshall Ferdinand Foch, yang juga mewakili pihak Sekutu.

Di atas sebuah gerbong kereta api (foto artikel), kedua orang itu menandatangani sebuah dokumen bersejarah: kesepakatan gencatan senjata (armistice) yang mengakhiri Perang Dunia I. Kesepakatan itu secara teknis sebenarnya adalah kapitulasi (pengakuan kalah perang) Jerman. Beberapa bulan kemudian, para pimpinan Jerman dan Sekutu menandatangani perjanjian perdamaian di Istana Versailles.

Di beberapa negara sekutu, gencatan senjata 11 November diperingati sekaligus sebagai Hari Veteran. Jerman, sebagai pihak yang kalah perang, tidak merayakan hari itu, melainkan mulai tahun 1952 merayakan Volkstrauertag (Hari Berkabung) setiap tanggal 16 November.

Geliat terakhir armada perang Jerman

Musim panas 1918, pasukan Jerman melancarkan serangan di sepanjang Front Barat. Mereka berhasil memenangkan beberapa wilayah, sekalipun menderita kerugian besar. Antara Maret sampai Juli saja, jumlah pasukan berkurang dari 5,1 juta menjadi 4,2 juta orang. Kekaisaran Jerman berusaha memobilisasi pasukan tambahan dengan mengerahkan serdadu terluka yang belum pulih dan rekrutan muda usia 18 tahun yang terkena wajib militer.

Kekalahan itu sudah bisa diperkirakan, setelah AS di bawah Presiden Woodrow Wilson pada April 1917 turut menyatakan perang melawan Jerman. Ribuan pasukan lalu dikirim ke Eropa. Awal musim gugur 1918, sekitar 10 ribu tentara AS tiba setiap hari di medan perang.

Kedatangan pasukan AS yang berperalatan lengkap membuat pasukan Jerman kewalahan. Para pemimpin militer dan sipil menyadari, perang tidak bisa dimenangkan lagi, kehancuran total front Jerman hanya bisa dicegah melalui gencatan senjata.

Perang yang menghancurkan

Saat itu Eropa sudah mengalami empat tahun perang yang hebat. Ketika mengendarai mobil melewati daerah Belgia dan Perancis, Mathias Erzberger sendiri terpana dengan kondisi sekitar yang dilihatnya. "Tidak ada satu pun rumah yang tersisa, satu kehancuran datang menyusul yang lain," tulis jurnalis dan politisi Jerman itu. "Di bawah sinar bulan reruntuhan tampak seperti hantu di udara. Tidak ada makhluk hidup yang menunjukkan dirinya."

Perang Dunia I adalah perang yang paling mematikan dalam sejarah. Kemajuan teknologi dan industrialisasi yang terjadi saat itu melahirkan senjata-senjata mengerikan yang belum pernah dilihat sebelumnya, baik dalam kuantitas maupun kualitas: kendaraan lapis baja yang tidak bisa ditembus peluru, perahu yang bisa bermanuver di bawah permukaan air, artileri kaliber besar dengan daya jangkau jauh, senjata kimia dengan gas beracun.

Para sejarawan militer memperkirakan, sekitar 850 juta munisi artileri ditembakkan selama Perang Dunia I. Industri berlomba-lomba memproduksi senjata pembunuh massal. Penemuan senjata mesin jenis baru merenggut nyawa hampir 11 juta tentara. Negara-negara yang terlibat perang memobilisasi hampir 56 juta pasukan. Rata-rata 6.000 tentara tewas setiap hari di medan perang. Lebih dari 21 juta tentara cedera sampai cacat - mereka kehilangan bagian tubuh, harus diamputasi, atau berakhir buta atau tuli.

Kesepakatan gencatan senjata 11 November 1918 akhirnya mengakhiri perang, namun tidak berarti mengakhiri penderitaan. Kesulitan, kesedihan, kemelaratan dan rasa frustasi terus mencengkeram, terutama di Jerman. Ini menjadi lahan subur bagi kebangkitan kembali politik militerisme dan munculnya seorang diktator paling kejam dalam sejarah dunia: Adolf Hitler.

Resources
  • https://www.tempo.co/dw/300/100-tahun-lalu-perang-dunia-i-antara-jerman-dan-sekutu-resmi-berakhir