Kamis, April 24, 2014

Australia Tambah Lagi 58 Pesawat Tempur F-35

F-35A

Pada hari Rabu, 23 April 2014, Australia mengumumkan pembelian 58 pesawat tempur F-35 Lightning II JSF (Joint Strike Fighter) tambahan senilai AUD 12,4 miliar (USD 11,4 miliar). 

Dalam pidatonya, Perdana Menteri Tony Abbott dan Menteri Pertahanan David Johnston mengumumkan langkahnya tersebut dan mengatakan bahwa pesawat-pesawat tersebut akan dikirim ke Australia pada tahun 2023. Ditambah pesanan F-35 sebelumnya yang berjumlah 14 unit, total Australia akan mendapatkan 72 unit F-35. Tidak hanya itu, Australia juga tengah mempertimbangkan opsi penambahan 28 unit F-35 di tahun-tahun mendatang.

Menurut The Australian, harga sebesar AUD 12,4 miliar adalah harga untuk pembelian 58 F-35 lengkap dengan senjata dan pelatihan, dan AUD 1,6 miliar untuk pembangunan fasilitas dan infrastruktur baru untuk F-35 yang akan dibangun di Pangkalan Udara Williamtown di New South Wales dan Pangkalan Udara Tindal di Northern Territory.

Seperti yang dikatakan The Australian, pembelian F-35 tersebut adalah pembelian termahal untuk kesepakatan pertahanan dalam sejarah Australia. Pembelian ini juga muncul di saat anggota parlemen Australia memangkas dana pensiun dan layanan lainnya guna mengembalikan surplus anggaran. Menanggapi hal ini, Perdana Menteri Tony Abbott berulang kali menegaskan dalam pidatonya bahwa pemerintah Australia sudah memiliki dananya dan pembelian F-35 ini tidak akan mempengaruhi anggaran di masa mendatang.

"Saya ingin menekankan bahwa ini adalah uang yang disisihkan pemerintah selama dekade terakhir atau lebih, untuk memastikan bahwa pembelian ini dapat dipertanggungjawabkan," kata Abbott dilansir The Guardian. Abbott juga menjelaskan bahwa di masa depan, mau tidak mau Australia akan sampai pada satu titik dimana Australia akan membutuhkan kapal baru, pesawat baru, kendaraan lapis baja baru dll, sehingga Australia harus menyisihkan uang mulai dari sekarang untuk dibutuhkan di masa depan guna menjaga kekuatan pertahanan tetap efektif.

Berbeda dengan Abbott, pernyataan Menteri Pertahanan Johnston lebih berfokus pada kemampuan F-35 dan bagaimana pesawat-pesawat ini akan menambah postur pertahanan Australia. "Ini (F-35) adalah sistem yang dapat mendeteksi musuh dari jarak yang cukup fenomenal (jauh) dan tersembunyi (siluman/anti-radar), sehingga sangat sulit untuk dilacak," kata Johnston. Johnston juga menambahkan: "Kami menilai pesawat ini akan memenuhi semua kebutuhan Australia dalam hal kemampuan pesawat hingga sekitar tahun 2050."

Australia merupakan salah satu anggota dari program JSF (Joint Strike Fighter), dan pada awal program Australia menandantangani kontrak untuk mengakuisisi sekitar 100 F-35. Jumlah ini masih bisa dicapai seandainya opsi penambahan 28 F-35 sudah disetujui. Namun, beberapa anggota JSF lainnya seperti Italia, Denmark dan Kanada tampaknya tidak se-royal Australia, mereka kembali mengevaluasi pilihan mereka terhadap F-35 mengingat harganya yang terus melambung tinggi. Bahkan 2013 lalu santer beredar kabar bahwa Denmark dan Kanada berkemungkinan meninggalkan program JSF. Jika sekutu AS banyak yang keluar dari program ini (tidak membeli atau mengurangi jumlah yang akan dibeli) maka harga F-35 akan terus melambung. Namun pembelian Australia kemungkinan ini bisa menambah "iman" pelanggan potensial lain seperti Korea Selatan, Jepang dan Singapura yang juga ingin membeli pesawat ini.

Sebelumnya, banyak analis yang berpendapat bahwa Australia kemungkinan juga akan kehilangan kepercayaan dalam program pesawat tempur generasi kelima ini, terutama setelah pengumuman tahun lalu yang menyatakan bahwa Australia akan membeli 12 pesawat tempur Super Hornet tambahan dari Boeing untuk memperkuat armada yang ada. Tapi tampaknya pembelian Super Hornet ini hanya menjadi pengisi kesenjangan kekuatan tempur udara di Angkatan Udara Australia (RAAF) sebelum mereka menerima atau mengoperasikan F-35.
 
Dua F-35 pertama dari pesanan 14 unit yang disetujui untuk RAAF pada tahun 2009 kemungkinan akan dikirimkan pada akhir tahun ini ke pusat pelatihan terintegrasi RAAF di Pangkalan Udara Luke di Arizona dan akan terus berada di sana selama fase pengujian dan pelatihan. F-35 yang dibeli oleh Australia sendiri adalah varian conventional take-off and landing (CTOL) atau F-35A (khusus untuk angkatan udara).

Keputusan Canberra untuk mendasarkan kemampuan tempur udara di masa depan pada F-35 berarti menegaskan kembali komitmennya untuk menjadi pemimpin di kawasan regional, karena salah satu keunggulan utama F-35 adalah kemampuannya untuk beroperasi dalam satu kesatuan armada yang besar seperti berkolaborasi dengan F-35 dari negara lain. Sebagaimana yang dikatakan Jenderal Mike Hostage, Komandan Tempur Udara AS, bahwa: "Kemampuan pesawat (F-35) untuk beroperasi satu sama lain melalui secure distributed battlespace adalah pondasi penting untuk menghadirkan armada raksasa. Dan keunggulan F-35 yang bersifat sebagai armada global akan memberi keunggulan semua aliansi yang menggunakan F-35 karena dapat berkomunikasi satu sama lain dan saling mendistribusikan sistem operasi tempurnya."

Dengan demikian, semakin banyak negara-negara Asia yang menggunakan F-35, semakin besar kekuatan tempur yang ada di wilayah tersebut. F-35 Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura masing-masing akan saling melengkapi dalam operasi tempur.

Bertolak ke Eropa, bulan Juli nanti sepertinya akan menjadi pembuktian bagi F-35 dalam penerbangannya di pameran udara internasional Farnborough Air Show di luar London. Ini akan menjadi penerbangan pertama F-35 di luar AS.

Banyak yang menilai tujuan AS dalam memamerkan F-35 di Farnborough adalah untuk meningkatkan kepercayaan dari sekutu-sekutunya dalam program JSF. Selain itu, kehadiran F-35 pada pameran udara internasional tentu akan menghadirkan suasana baru mengingat selama ini pesawat-pesawat Rusia-lah yang paling menonjol di pameran-pameran udara internasional.

Gambar: U.S. Air Force photo/Master Sgt. Jeremy T. Lock