Selama perang yang tengah berlangsung di Irak dan Afghanistan, IED (Improvised Explosive Devices) telah menjadi momok yang menakutkan bagi unit darat militer Amerika Serikat. IED atau yang sering disebut sebagai bom pinggir jalan ini adalah peledak kecil dengan ledakan yang terarah. Selain bahan peledaknya, IED hanyalah bom yang dirakit dari komponen-komponen yang umum ditemukan dirumah, seperti sekering, baterai, selotip dan ponsel murah sebagai pemicunya.
IED seolah menjadi senjata yang wajib untuk taktik perang asimetris. Hal ini tidak terlepas dari biayanya yang murah, perakitan dan pengaplikasiannya mudah, dan yang terpenting dampaknya yang dapat menimbulkan kerugian besar bahkan untuk platform musuh yang berteknologi unggul. Dengan terus berkembangnya teknologi pesawat tanpa awak, kini militer AS menghadapi ancaman baru yang lebih berbahaya, yakni Flying IED.
Kekhawatiran ini mencuat ke permukaan ketika sebuah pesawat tak berawak kecil menabrak pohon di area Gedung Putih pada bulan Januari lalu. Sistem radar yang ada, yakni sistem radar yang dirancang untuk mendeteksi objek terbang yang besar seperti pesawat terbang, rudal, pesawat militer tidak mampu mendeteksi quadcopter drone yang berdiameter sekitar 60 cm yang masuk ke area terbatas di sekitar Gedung Putih. Memang drone tersebut bukanlah ancaman karena diketahui dioperasikan oleh seorang pegawai pemerintah untuk tujuan hiburan semata, tapi kejadian ini menarik perhatian para perencana militer Amerika Serikat.
Jika sistem radar Gedung Putih tidak mampu mendeteksi drone kecil ini, bukan tidak mungkin sistem radar militer yang menjaga instalasi militer AS juga tidak mampu mendeteksi drone kecil yang bersenjata. Meskipun insiden Gedung Putih dinyatakan kecelakaan dan bukan situasi yang mengancam, pejabat militer AS khawatir dengan kemungkinan akan ancaman serangan terhadap objek militer dan sipil AS oleh drone kecil bersenjata.
"Saya pribadi meyakini bahwa platform tak berawak akan menjadi salah satu senjata yang paling penting di zaman kita," Kapten Angkatan Laut. Vincent Martinez, Komandan Navy Surface Warfare Center (NSWC) EOD Technology Division, mengatakan.
Martinez mengatakan bahwa drone kecil seperti quadcopter yang mendarat di dekat Gedung Putih dapat menimbulkan potensi ancaman yang tinggi. "Bayangkan jika ada acara publik dan drone tersebut jatuh tepat di lokasi dan meledak, apakah itu akan membunuh atau tidak?", kata Martinez. Martinez melanjutkan bahwa kendaraan yang ringan seperti quadcopter memang kurang berbahaya karena hanya mampu membawa maksimal enam pon C4 plastic explosive atau beberapa granat fragmentasi, hanya mampu merusak platform-platform kecil. Namun serangan seperti itu dapat menyebabkan kegelisahan yang meluas bagi penduduk sipil bahkan meskipun tidak ada korban jiwa dalam serangan.
Ada kekhawatiran besar dalam benak pelaku-pelaku pertahanan AS terkait mudahnya orang-orang mendapatkan jenis kendaraan terbang tak berawak seperti quadcopter. Drone kecil semacam ini sangat banyak diproduksi dan sangat mungkin orang atau pasukan musuh meretrofit drone tersebut dengan memberinya kemampuan untuk membawa dan meledakkan bahan peledak mematikan.