Minggu, Desember 23, 2012

Visi TNI AL untuk Menjawab Tantangan di Masa Depan

Armada TNI AL

Perkembangan situasi di kawasan Asia Tenggara kini makin dinamis, hal ini diwarnai pula dengan situasi yang memanas terkait sengketa wilayah yang kaya sumber daya alam di Laut China Selatan antara China dengan sejumlah negara-negara anggota ASEAN.

Indonesia memang bukan termasuk negara yang bersengketa dengan China, namun Indonesia justru harus memanfaatkan kondisi ini sebagai rujukan kesiapan segenap sumber daya maritim untuk mengantisipasi kemungkinan konflik atau bahkan perang terbuka.

China saat ini terus meningkatkan kemampuan maritimnya, yang terakhir menjadi buah bibir di dunia Internasional adalah peluncuran kapal induk China yaitu Liaoning yang bakal dilengkapi pesawat tempur J-15, yang dituduh dunia merupakan kloningan dari jet tempur Rusia Sukhoi Su-33 versi kapal induk. J-15 juga sudah berhasil landing dan take-off dengan baik di atas dek kapal induk Liaoning. Ini menunjukkan beberapa waktu kedepan China sudah bisa mengoperasikan kapak induk mereka itu dengan optimal.

Meski sejumlah analis pertahanan seperti Rodger Baker dan Zhang Zhixing dalam ulasan berjudul "The Paradox of China’s Naval Strategy" di situs kajian strategis stratfor.com menilai China masih dalam proses transisi untuk memproyeksikan kekuatan maritimnya keluar demi kepentingannya, segenap perkembangan ini harus diikuti dengan cermat demi kepentingan nasional Indonesia.

Kondisi di tingkat kawasan Pasifik dan Asia Tenggara layak menjadi rujukan dalam peningkatan kemampuan TNI AL ke depan, khususnya terkait dengan visi mewujudkan TNI AL yang handal dan disegani. Visi ini sangat tepat dan penting karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas wilayah laut 93.000 km persegi dan luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 6.159.032 km persegi. Kondisi geografis Indonesia ini semakin spesial dengan posisinya yang terletak di antara dua benua dan dua samudera besar sehingga membuat wilayah Indonesia dari masa ke masa senantiasa menjadi jalur perlintasan perniagaan yang sangat penting dan vital.

Oleh karena itu, kebutuhan adanya angkatan laut yang kuat dengan alutsista dan perlengkapan yang sesuai zaman dan kebutuhan dengan ditunjang sumber daya manusia yang memiliki profesionalisme dan kompetensi tinggi sudah menjadi keniscayaan. Akan tetapi kekuatan TNI AL yang handal dan disegani itu pun takkan bisa terwujud jika visi maritim yang kuat dan integral belum terbangun di negeri tercinta ini.

Banyak tafsir yang dikemukakan mengenai visi maritim, seperti halnya yang dikemukakan oleh seorang peneliti pertahanan nasional Connie Rahakundini Bakrie dalam tulisan di situs indomaritimeinstitute.org berjudul "Negara Visi Maritim." Connie menyebut bahwa visi maritim akan dipengaruhi kemajuan yang sudah dicapai di daratan dan tidak akan efektif jika tidak didasarkan pada konsepsi mengenai pertahanan negara yang menyeluruh. Menurut Connie, pembangunan kekuatan maritim merupakan tahap lebih lanjut setelah dipenuhinya kualitas yang unggul atas pertahanan matra darat. Ditambahkannya, dalam perkuatan armada laut, sebuah negara harus sudah memiliki pertahanan darat, sistem intelijen, pemerintahan dan perekonomian yang kuat dengan dasar strategi ekonomi politik yang tangguh untuk menjaga kedaulatan negaranya.

Tak jauh beda dengan yang dikemukakan mendiang Laksamana Purn Soedomo seperti dikutip dalam majalah Jalasena terbitan Mei 2011. Soedomo menyatakan visi maritim bisa dibangun dengan merujuk pada visi Kerajaan Majapahit yang memproyeksikan kekuatan melalui samudera untuk mempersatukan berbagai wilayah, serta merujuk pada misi Laksamana Cheng Ho atau Zheng He yang memanfaatkan kekuatan maritim untuk perdagangan dan promosi kebudayaan.
Dengan terpeliharanya seluruh kemampuan dan terus terlaksananya proses perkuatan-perkuatan itu, niscaya TNI AL akan mampu mewujudkan visinya sebagai kekuatan yang andal dan disegani
Meninjau kondisi aktual di tingkat kawasan, misi TNI AL yang saat ini masih sejalan dengan TNI secara umum yaitu membangun kekuatan dengan ukuran minimum essential force (MEF) atau kekuatan pokok minimal secara dinamis harus terus dikaji dan disesuaikan dengan perkembangan tingkat kawasan. Konsep pertahanan dan alat utama sistem senjata (Alutsista) penunjangnya semestinya sudah makin diarahkan menuju prinsip kesetaraan, meski mungkin kesetaraan minimal. Artinya, Alutsista dan segala kemampuan sumber daya penunjangnya harus memiliki kualitas setara dengan kekuatan termaju di kawasan, walaupun dari segi kuantitas mungkin belum menyamai. Yang tak kalah penting, ketersediaan Alutsista dan kelengkapannya juga sesuai dengan tren potensi ancaman.

Misalkan saja dalam rangka pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi jalur pelayaran internasional. Jangan dilupakan “Insiden Bawean” yang terjadi 3 Juli 2003 silam, saat pesawat-pesawat tempur F/A-18 Hornet dari kapal induk USS Carl Vinson bermanuver di wilayah perairan Laut Jawa sehingga terpaksa dicegat oleh pesawat F-16 dari Lanud Iswahjudi Madiun dan saat itu nyaris terjadi dog fight. Meski insiden itu sudah lama terjadi, namun hal ini membuktikan bahwa kekuatan TNI khususnya TNI AL perlu lebih banyak memproyeksikan diri sebagai pengaman jalur perlintasan internasional itu, sekaligus menunjukkan kemampuannya sebagai deterrent atau kekuatan penangkal yang membuat negara lain tak berani sembarangan berulah di dalam kedaulatan Indonesia.

Menyikapi kondisi terakhir di kawasan Laut China Selatan, Indonesia dengan TNI AL-nya tetap perlu berperan sebagai kekuatan penengah di antara potensi-potensi konflik yang ada. Hal ini bisa dicapai, selain melalui jalur diplomasi aktif, juga melalui perkuatan-perkuatan unsur-unsur TNI AL. 

Penambahan Alutsista seperti kepemilikan rudal-rudal anti-kapal permukaan dan anti-serangan udara dari jenis terbaru mutlak diperlukan untuk menjaga kemampuan pertahanan dan deterrent TNI AL. Selain itu penambahan kekuatan lain seperti pesawat-pesawat antikapal selam, baik sayap tetap maupun helikopter, patroli maritim serta kapal selam harus dijaga kesinambungan pengadaaannya agar sesuai dengan realitas kebutuhan dan mewujudkan prinsip kesetaraan dengan kekuatan lain di kawasan ini.

Jangan dilupakan pula aspek pembinaan personel untuk menjaga kualitas dan profesionalisme. TNI AL sudah punya pengalaman operasi laut di luar negeri seperti saat menangani pembajakan kapal dagang MV Sinar Kudus oleh perompak Somalia beberapa waktu lalu serta operasi maritim PBB di perairan Lebanon, yang membuktikan kualitas para pelautnya. Keterlibatan dalam operasi-operasi internasional ini perlu terus dipelihara untuk meningkatkan wawasan dan pengalaman segenap personel. Program pengamanan pulau terluar yang selama ini sudah dilaksanakan terutama oleh unsur Korps Marinir perlu diperkuat baik dari segi jumlah personel maupun kelengkapan persenjataan dan sarana pendukung seperti komunikasi dan fasilitas lainnya.

Dengan terpeliharanya seluruh kemampuan dan terus terlaksananya proses perkuatan-perkuatan itu, niscaya TNI AL akan mampu mewujudkan visinya sebagai kekuatan yang andal dan disegani. "Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya!"

Sumber: Solo Pos