Jumat, Februari 28, 2014

Mengapa China Iri dengan Korea Utara

Bendera Korea Utara

Korea Utara menggalakkan penggunaan komputer dan internet bagi pelajar dan warganya, namun hanya terbatas pada internet lokal Korea Utara. Internet lokal Korea Utara ini disebut sebagai "Kwangmyong" yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti cerdas atau cemerlang.

Kwangmyong hanya terdiri dari beberapa ribu situs (diperkirakan sekitar 1.000-5.500) dan semua penyimpanan datanya berada di Korea Utara. Sebagian besar situs di Kwangmyong hanya berisi materi pendidikan dan perpustakaan untuk universitas, tentang kantor pemerintah dan perusahaan yang dikelola negara, dan pengumumam-pengumuman penting dari pemerintah Korea Utara. Situs-situs berita yang terdapat dalam Kwangmyong menampilkan berita versi pemerintah. Berdiskusi, chatting dan email diizinkan namun diawasi dengan ketat oleh pemerintah, sedangkan untuk pengaksesan konten nyaris tidak perlu diawasi oleh pemerintah karena pengguna hanya bisa berinternet dalam ruang lingkup Kwangmyong.

Kwangmyong terisolasi dari internet internasional dan pengguna yang mengakses konten ke internet internasional dipantau dengan ketat (utamanya hanya kaum elit yang memiliki akses internet internasional). Salah satu tujuan Korea Utara membatasi penggunaan internetnya melalui Kwangmyong adalah untuk memberikan manfaat yang sesungguhnya dari teknologi informasi, sekaligus menjaga penduduknya dari terkontaminasi pengaruh asing yang buruk. Dengan begitu, pelajar/mahasiswa akan benar-benar belajar, tidak membuang-buang waktu untuk mengakses sosial media seperti Facebook, Twitter, Reddit atau BuzzFeed.

Selama sepuluh tahun terakhir, Korea Utara merekrut banyak orang yang memiliki bakat menggunakan internet, terutama untuk tugas spionase dan perang cyber (yang berbasis internet). Selama lebih dari dua dekade Korea Utara juga melatih sejumlah kecil orang untuk menjadi teknisi jaringan dan peretas. Setelah internet menjadi booming di akhir 1990-an Korea Utara mulai merekrut lebih  banyak orang. Pada saat itu sudah semakin banyak keluarga elit (beberapa ratus ribu orang) yang mulai menggunakan komputer pribadi. Anak-anak dari keluarga elit pemerintah, mulai menggunakan teknologi baru ini. Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un (sejak 2011), yang saat ini berusia 31 tahun, adalah seorang penggemar PC dan berbagai macam teknologi. Ia berandil besar untuk meningkatkan akses internet penduduk Korea Utara.

Kim Jong-il (ayah Kim Jong-un) pemimpin Korea Utara 1994-2011 juga penggemar teknologi dan sangat memahami kegunaan internet. Tapi sama seperti Kim Jong-un, ia juga "anti" internet. Pada tahun 2010, polisi rahasia diperintahkan untuk menindak pengguna komputer (hanya beberapa persen dari populasi, sebagian besar hanya milik elit Partai Komunis) yang masih menggunakan salinan sistem operasi Windows XP (bajakan, versi dan berbahasa China). Tindakan keras itu dilakukan terkait peraturan pemerintah Korea Utara tahun 2009 yang melarang penggunaan sistem operasi Windows.

Di tahun dikeluarkannya larangan penggunaan Windows, Korea Utara memerintahkan semua pengguna beralih ke sistem operasi Linux (Red Star) yang berbahasa Korea dengan interface (antarmuka) yang mirip dengan Windows XP. Kemudian Red Star 2.0 muncul pada tahun 2011 dengan interface yang mirip dengan Windows 7. Dan yang Red Star yang terbaru (versi 3.0) muncul tahun lalu dengan interface yang mirip seperti Mac OS 10.

Korea Utara bukan satu-satunya negara di dunia yang mendukung sistem operasi Linux. Rusia dan China juga telah mencoba mengalihkan sebagian besar pengguna komputer untuk menggunakan Linux. Hal ini utamanya untuk alasan keamanan, dan juga karena Linux adalah sistem operasi open source maka teknisi perangkat lunak pemerintah mudah memodifikasinya untuk digunakan pegawai pemerintah. Dimodifikasi untuk meningkatkan keamanan, tetapi juga membuat aktivitas penggunanya lebih mudah dipantau pemerintah.

Pada akhir 2010, pemerintah Rusia memutuskan bahwa semua komputer pemerintah yang menggunakan Microsoft Windows harus berpindah ke Linux dalam jangka waktu empat tahun. Ada beberapa alasan untuk pengalihan ini. Pertama alasan keamanan, PC berbasis Windows paling sering diserang oleh peretas, dan untuk melindungi jaringan pemerintah dari serangan semacam ini sangat mahal biayanya. Serangan pada PC Linux lebih sedikit mengingat jumlah serangan peretas terhadap PC Windows 50 kali lebih banyak dari PC Linux.

Kedua, karena sebagian besar perangkat lunak Microsoft yang digunakan pada PC pemerintah Rusia adalah curian, Microsoft dan pemerintah Amerika Serikat menekan pemerintah Rusia untuk membayarnya. Rusia berusaha menghindari tekanan ini dengan cara meniadakan penggunaan Windows dan perangkat lunak dari Micrososft lainnya. Perangkat lunak untuk PC Linux jauh lebih murah bahkan umumnya gratis. Tapi, sepertinya upaya Rusia untuk mengkonversi Linux sebagian besar telah gagal. Kegagalan itu juga terlihat pada apa yang dilakukan China yang ingin beralih dari Windows ke Linux.

Pada dekade ini, China berusaha mengkonversi komputer pemerintah dan komputer pebisnis menjadi Unix (Linux baru) sebagai sistem operasi mereka. Namun tetap saja pebisnis China, dan kantor pemerintah menggunakan sistem operasi Microsoft. Mereka tidak berubah karena Microsoft Windows sudah dibajak secara luas di China, terdapat banyak jumlah perangkat lunak bajakan yang mereka butuhkan yang hanya bisa digunakan pada sistem operasi Windows. Alasan lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa banyak game yang hanya bisa berjalan di sistem operasi Windows dan saat ini game sudah menjadi kebutuhan penting, bahkan di China sekalipun.

Sementara pemerintah China terus mendorong penggunaan sistem operasi Linux, mereka memperoleh kesuksesan dengan mewajibkan server pemerintah menggunkan sistem operasi varian Unix, yang dikembangkan di China, yang disebut sebagai Kylin. Pemerintah China juga getol mengupayakan agar semua pebisnis China mengadopsi Linux versi China atau Unix untuk desktop dan PC laptop mereka. Sementara itu, birokrat China bisa mengagumi rekan Korea Utara mereka yang berhasil meniadakan penggunaan Windows dan berubah mengunakan Linux, meskipun harus melalui "paksaan". Bagaimana dengan Indonesia?